Diposkan pada Cerita Pendek, Cerpen, Cinta, Dongeng, Family, Keluarga, Love, Novel, Tak Berkategori

Selamat Tinggal Air Mata Part 1 : Kemeja Hijau&Gaun Putih Yang Basah

Wanita itu berjalan menembus lebatnya hujan malam itu, dia sangat bersyukur atas hujan ini, sebab ia bisa bebas menangis tanpa di lihat oleh siapapun.
Dia berjalan tak tentu arah, dan tak sadar bila kini berada di tengah jalan. Namun tetap tak peduli lagi meskipun bisa saja sebuah mobil menyambar tubuhnya dari belakang.

Dan benar saja… Satu, dua mobil membunyikan klaksonnya beberapa kali. Kadang disertai teriakan pengemudi yang meneriakkan kekesalan padanya.

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang, pengemudinya ialah Arif yang sedang menyetir sembari melihat-lihat dokumen hasil meeting tadi siang di kantor. Selembar kertas terjatuh, Arif mengecheck jalan, lalu saat dirasa aman ia akan mengembil dokumen uang terjatuh itu.

Ia pun mengambil dokumen itu, lalu saat melihat ke depan lagi, seorang wanita tengah berjalan dan jaraknya hanya sekitar beberapa meter saja dari mobilnya. Buru-buru Arif menginjak rem mobilnya, dan untunglah mobil itu tak sampai mengenai wanita tersebut. Arif pun yakin bahwa mobilnya tak sampai mengenai wanita itu, akan tetapi entah mengapa wanita itu terjatuh.

Arif keluar dari mobilnya, lalu berlari ke arah wanita itu. Ia tergeletak disana, Arif langsung membawa wanita itu ke dalam mobilnya dan berniat membawanya ke rumah sakit.

Di tengah perjalanan, wanita itupun terbangun.
“Loe mau bawa gue kemana?” tanya dia.
Arif sempat terkejut sesaat, lalu ia menepikan mobilnya.
“Lhoh, sudah bangun? Saya mau bawa kamu ke rumah sakit, tadi saya gak sengaja nabrak kamu. Maafkan saya…” jawab Arif.

“Gak usah ke rumah sakit, mendingan kita ke restoran saja, gue lapar.” kata wanita itu.

“Oh… Baik. Kita ke restoran.” kata Arif yang setengah tak percaya mendengar permintaan wanita itu.
Jika seseorang yang tertabrak biasanya akan meminta ganti rugi dengan jaminan pulih seperti sedia kala, wanita ini justru meminta Arif untuk mentraktirnya makan di sebuah restoran.
“Oh iya… Perkenalkan, nama saya Arif.” kata Arif sambil menyodorkan tangannya.

“Gue Nadya.” kata wanita tersebut.
Mobil itupun melaju lagi masih di antara hujan yang kali ini tak terlalu lebat, menuju ke sebuah restoran di pinggiran kota.
“Disini tidak apa-apa kan?” tanya Arif.

“Gak apa-apa. Yang penting gue makan.” Nadya.
Kedatangan mereka tak luput dari perhatian pengunjung restoran. Bagaimana tidak, sedang Kemeja hijau yang Arif kenakan serta gaun berwarna putih yang di pakai Nadya juga basah kuyup. Dan disini Nadya menjadi yang paling tidak peduli akan hal itu.

Mereka berdua duduk di meja nomor 12, memesan sebuah makanan dan beberapa saat kemudian makanan itupun datang.

Sebuah steak sapi telah di pesan Nadya dan ia langsung memakannya. Ia memotong daging dengan sadis, memakannya dengan lahap dan cepat hingga memenuhi mulutnya.
“Pelan-pelan mbak.” kata Arif.

“Hmmm, jangan panggil gue mbak. Panggil saja, Nadya.” kata Nadya.

“Iya mbak.”

“Eh, Nadya maksudnya.”
Nadya pun tersenyum, memperlihatkan gigi yang kini kotor berkat sisa-sisa daging yang tersangkut di giginya. Hal itu tentu saja membuat Arif jijik, akan tetapi ia tak memperlihatkannya.

Selesai memakan steak daging, Nadya lanjut memakan spageti.
“Nadya…”

“Hmmm.”

“Kamu kenapa jalan di tengah jalan tadi?” tanya Arif.

“Gue pengen mati, berharap ada yang nabrak gue, tapi ternyata gak ada. Sekalinya ada ya loe, itupun pelan. Dan akhirnya gue gak mati. Tapi gue gak merasa sakit apa-apa, justru malah lapar. Jangan-jangan gue gak ketabrak lagi.” jawab Nadya.

“Kalau gak ketabrak, kamu yang harus bayar semua ini.” kata Arif.
Nadya nyaris tersedak mendengarnya,
“Eh… Minum dulu, minum dulu. Nih…” kata Arif sambil menawarkan segelas air putih.
Segalas air putih langsung di habiskam oleh Nadya.
“Serius gue yang bayar?” tanya Nadya.

“Gak lah, saya bercanda hahaha…” jawab Arif yang tertawa terpingkal-pingkal pada akhirnya.

“Tapi ini serius, kenapa kamu sampai mau bunuh diri?” tanya Arif lagi.

“Jadi gini ceritanya, gue…”

Penulis:

Memiliki nama asli Aris Setiyanto, lahir 12 Juni 1996. Buku puisinya, Lelaki yang Bernyanyi Ketika Pesawat Melintas(2020) dan Ketika Angin Berembus(2021). Karyanya termuat di; Koran Purworejo, Koran BMR FOX, Harian Sinar Indonesia Baru, Radar Pekalongan, Harian Bhirawa, Bangka Pos, Radar Madiun, Harian Nusa Bali, Harian Waspada dll

42 tanggapan untuk “Selamat Tinggal Air Mata Part 1 : Kemeja Hijau&Gaun Putih Yang Basah

      1. Makaudnya orisinil itu pasti bukan hasil menjiplak karya orang lain gitu kan? Yaelah pak, cuma cerpen sederhana kaya kok. Apalah kalau di bandingkan dg cerpen kamu yang bagus itu… Btw saya baca lho, tapi belum semuanya😅

        Suka

      2. Masa?

        Saya kaya baca novel, dan saya kalau buat yang kaya gitu gak bisa. Buat lagi atuh…
        Atau idenya dari saya dan yang nulis ceritanya kamu ae pak, karena kebetulan saya sedang banyak ide

        Suka

      1. Itu bukan tujuan saya sih, yg penting saya bisa berkhayal dengan bebas.
        Ilmu ngarang maksudnya? Ya kamu tinggal ngarang aja, entah itu bagus atau buruk… Ttp mencoba😂

        Suka

      2. Tapi nanti saya pasti coba lagi kok. Ada cerita dari seorang teman mengirim 10 naskah puisi, dari kesepuluh naskah itu ada 2 yang diterbitkan dan saya jadi pingin mencoba lagi.

        Suka

      3. Sok atuh, saya juga udah mulai ngirim ini. Kata teman saya, semuanya tergantung editor. Jadi, cerpen buruk sekalipun kalau editornya suka ya tetep bisa terbit. Yang penting usaha dulu lah pokokke…

        Disukai oleh 1 orang

      4. Yang penting kamu punya naskahnya(cerpen/cerbung), lalu kamu cari di google tentang media yang menerbitkan cerpen, atau nanti saya carikan dan saya bagi linknya disini deh. Pokoknya yang pertama kamu harus punya naskahnya dulu. Temen saya aja iseng bisa terbit, kita yang niat pasti juga bisalah. Asalkan terus mencoba. Semangat ya!!!

        Suka

      5. Kalau saya bisa jawab pasti akan saya jawab hehe… Masalahnya banyak yg saya gak tahu.

        Sebenarnya kalau kamu tinggal di kota besar lebih diuntungkan sih, karena bisa datang ke perusahaan korannya. Karena setiap kota besar iti pasti adalah media kaya koran/majalah gitu.

        Ok. Semangat ya!!! Selamat mencoba😁😁😁

        Suka

      6. Kalau dekat, lebih baik datangi saja.
        Saya mah kalau mau datengin media harus ke Jogja atau karesidenan Kedu yang memakan waktu sekitar 1-2 jam.
        Sebenarnya hal itu tidak boleh dijadikan alasan, jangan ditiru pokoknya. Intinya kita tetap harus berusaha sekuat tenaga.

        Suka

Tinggalkan komentar