Diposkan pada Cerita Pendek, Cerpen, Cinta, Dongeng, Family, Keluarga, Love, Novel, Tak Berkategori

Selamat Tinggal Air Mata Part 3 : Rencana Nadya


Nelly diam-diam mengikuti Nadya dari belakang, sesampainya di kamar Nadya, Nelly mengintip dari sebuah pintu yang terbuka sedikit. Disana Nadya terlihat memukul-mukul bantal yang sesaat di pelukanya, lalu terdengar isak tangisnya yang pelan namun dapat Nelly pahami bahwa itu menggambarkan kesedihan yang teramat dalam.

Nelly merasa kehadirannya tidak pantas untuk saat ini, ia pergi dari sana dan membiarkan Nadya untuk sementara ini sendiri.

Sementara itu Nadya menghapus air matanya yang menghapus membanjiri wajahanya itu.
“Come on, MOVE ON!” katanya dalam hati sembari menghela nafas panjang.
Lalu berdirilah Nadya dan menatap puluhan frame di dinding depan sana yang tak lain adalah foto kebersamaan dirinya dengan pacarnya. Di ambillah satu persatu frame itu lalu kemudian ia letakkan di lantai. Beberapa frame yang ada di meja pun tak ketinggalan ia kumpulkan. Lalu ia mengambil sebuah tongkah baseball dari balik lemari, dan sebelum melakukan eksekusi tak lupa ia mengunci kunci pintu kamarnya.

Kemudian sebuah musik beraliran punk rock yang berjudul “Punkish” yang ia putar dengan volume yang cukup keras.
“Life is punkish

Don’t think!

Just do whatever

You want to do

Here we go! (Go ahead!)

Here we go! (Go ahead!)

Within us

There is something burning

This flame will not go out

So go!

Yeah!”
Dan satu persatu frame pun ia hancurkan. Ada sambutan tawa keras serta headbang yang lebih kencang setiap sebuah frame beserta fotonya hancur.

Nelly yang mendengar riuh kegaduhan dari arah kamar kakanya pun berlari kesana, dan langsung mengetuk pintu kamar.
“Eh, loe ngapain? Loe gak apa-apa kan?”

“Gue gak apa-apa.” teriak Nadya.
Nelly pun kembali ke kamarnya dengan berjalan yang sesekali menggelengkan kepalanya menyaksikan kemirisan yang terjadi pada Nadya. Nelly tahu pasti, kalau sudah begini pasti ada sesuatu yang tidak beres pada Nadya.

Seusai menghancurkan frame-frame itu, Nadya teringat pada Arif. Ia mengambil kartu nama yang telah ia letakkan di meja tadi, disana juga ada undangan pernikahan mantan kekasihnya. Melihat undangan dan kartu nama yang letaknya berdekatan, Nadya jadi mendapat suatu ide.

Diambilah kartu nama itu dan ia mulai memencet nomor pada teleponnya.
“Halo?” terdengar suara lelaki menyapa yang kini sudah tak asing lagi.

“Halo… Ini gue Nadya.” kata Nadya.

“Oh, kamu… Ada apa?” tanya Arif.

“Gak ada apa-apa.”

“Loe belum tidur?” tanya Nadya.

“Ini juga sebenarnya mau tidur sih…” jawab Arif.

“Oh gitu, ya udah kalau gitu. Have a nice dream yaaah… Bye” kata Nadya.

“Ok, bye.”
Tak berselang lama setelah telepon itu tertutup dan Arif menarik selimutnya namun telepon itu berdering lagi.
“Halo? Siapa ya?” tanya Arif.

“Gue, Nadya hehe… Cuma mau nanya, besok loe ada waktu gak? Gue pengen ketemu, pengen cerita-cerita.”

“Besok… Ada sih, tapi sore, sekitar jam 4.” kata Arif.

“Oh, gak apa-apa. Besok kita ketemu ya, di restoran yang kemarin.” kata Nadya.

“Ok ok.”

“Daaah… Sampai ketemu.” kata Nadya.
Telepon itu kembali tertutup yang kali ini benar-benar tertutup.
Hari berikutnya…
Sore itu Nadya duduk di sebuah cafe, menunggu kedatangan Arif. Sudah hampir satu jam lamanya dia menunggu, secangkir coklat panas bahkan telah habis ia minum dan sebuah jus jeruk kini sudah tak dingin lagi, namun Arif tak kunjung datang. Di hp nya juga tidak ada pemberitahuan apapun mengenai Arif.

Beberapa saat kemudian Arif datang dengan berlari ke arah Nadya.
“Maaf, saya terlambat. Tadi ada meeting dadakan soalnya. Maaf juga karena gak ngabarin kamu.” kata Arif.

“Gak apa-apa, minum dulu tuh…” kata Nadya.

“Jadi, ada apa?” tanya Arif sambil menegak jus jeruk yang telah hilang kesegarannya itu.
Nadya menghela nafas sebelum mengatakan hal itu pada Arif,
“Jadi, gue punya sebuah rencana. Gue kan di undang tuh sama mantan pacar gue, dan gue harus datang kesana. Masalahnya gue gak mau kalau datang sendiri, loe nemenin gue? Tapi sebagai pacar.” kata Nadya.
Mendengar hal itu, Arif nyaris tersedak. Dan Nadya mulai berfikir apa yang salah dengan yang ia katakan barusan, barulah setelah itu ia tahu memang ada yang salah.
“Maksud gue, kita pura-pura pacaran. Loe jadi pacar pura-pura gue.” kata Nadya.

“Tapi saya gak janji, akhir-akhir ini aktifitas di kantor menjadi sangat padat sehingga menyibukkan saya dengan pekerjaan. Setelah ini saja, saya masih harus balik ke kantor lagi karena saking banyaknya pekerjaan. Tapi, untuk kamu akan saya usahakan.” kata Arif.

“Thanks yah…” kata Nadya.
Arif melihat pada jamnya,
“Maaf, saya harus sudah pergi. Saya pergi dulu ya…”

“Iya. Ati-ati di jalan.” kata Nadya.
Arif pun berlalu begitu saja, meninggalkan Nadya yang kini senyam-senyum sendiri karena teringat kejadian barusan.
“Pura-pura? Kenapa gak seriusan aja ya?” tanya Nadya dalam hati.

Penulis:

Memiliki nama asli Aris Setiyanto, lahir 12 Juni 1996. Buku puisinya, Lelaki yang Bernyanyi Ketika Pesawat Melintas(2020) dan Ketika Angin Berembus(2021). Karyanya termuat di; Koran Purworejo, Koran BMR FOX, Harian Sinar Indonesia Baru, Radar Pekalongan, Harian Bhirawa, Bangka Pos, Radar Madiun, Harian Nusa Bali, Harian Waspada dll

6 tanggapan untuk “Selamat Tinggal Air Mata Part 3 : Rencana Nadya

      1. Saya lagi kendala kuota, saat ini saya seorang fakir kuota 😀
        Tapi emang sengaja sih, biar fokus nulis kelanjutan cerbung ini dan tidak sibuk dengan media sosial yang seabrek 😀

        Suka

Tinggalkan komentar