Diposkan pada Cerpen

Asa Di Ujung Senja

Dia berjalan dengan tertatih, menuruni bukit di kala langit masih gelap gulita. Bulan dan bintang yang bertaburan yang sudi menjadi teman, yang bahkan mereka pun akan hilang sebab hari akan segera terjelang.
Rumahnya terletak agak jauh pula dari desa, pantas bila ia tak menemui siapa-siapa.
Tangan kirinya memegang oncor, sedangkan tangan kanannya memegang tongkat kayu. Punggungnya yang sebenarnya sudah tak kuat lagi, tetap ia paksakan untuk ditimpa beraneka macam sayuran yang ia petik pagi ini pula.
Baju terbaik yang ia kenakan ialah jaket tebal pemberian orang dermawan, lumayan untuk menghalau dingin memeluk tubuhnya yang renta, menyapa kulit keriputnya. Meski memang dingin tetap terasa lantaran di bukit ini dinginnya tak terhingga, namun ia tetap bersyukur sebab masih ada yang memikirkannya.

Jalanan aspal kini telah ia pijaki, rumah demi rumah penduduk desa telah ia lewati, pertanda bahwa ia telah jauh dari gubuk tuanya.
Namun bukan berarti ia telah sampai di tujuan, karena yang ia tuju adalah pasar tradisional di kota yang letaknya masih jauh di depan sana.
Lampu mobil menyorotinya dari belakang, terdengar pula suara klakson yang nyaring.

Sesaat kemudian mobil itu berhenti di dekatnya, kaca mobil pun terbuka, “Nini! Milu abdi wae!!!” ¹ teriak lelaki yang umurnya sekitar tiga puluhan itu dengan kencangnya.

Bukannya bermaksud tidak sopan, namun memang nenek itu juga sudah mulai tuli.
Nenek itu menoleh, terlihat senyum manis di bibirnya yang sesaat kemudian memperlihatkan dua gigi kelinci yang masih tersisa.

“Hatur nuhun,” ² ucap nenek itu.

Sayuran yang dibawa oleh sang nenek kemudian di letakkan di bak belakang dengan dibantu oleh lelaki yang tadi, setelahnya nenek itu pun masuk dan mobil itu melaju membelah dinginnya jalanan pagi ketika fajar mulai menampakkan diri.

❇❇❇

Sinar mentari kini mulai berpendar, akan tetapi pasar ini masih sepi. Hanya ada beberapa penjual dan pembeli yang mondar-mandir ke sana kemari.
Nenek tua duduk di kursi yang tersedia di lapaknya, setelah itu ia kemudian mengambil sesuatu dari saku jaketnya, sebuah tasbih.
Butir manik-manik itu di sentuh oleh jemarinya, pelan tapi pasti, pujian kepada Tuhan ia rapalkan hingga sampailah ia di ujung tasbih dan ia akan kembali mengulangi sampai nanti ada yang mendekatinya, membeli dagangannya.
Terkadang, entah mengapa, ada yang membeli dagangannya dengan harga dua kali lipat bahkan lebih dari itu. Mungkin karena orang-orang hanya sekedar merasa kasihan, atau menghargai asanya. Bahkan kadang ada orang yang membeli semua daganannya sekaligus, namun kadang juga malah sepi hingga kantuk menyerang diri.
Apapun itu, yang pasti ia akan selalu bersyukur.
Dan jika dagangannya tidak laku, maka nenek tua itu akan membaginya percuma kepada penduduk desa.

Dan perihal anak-anaknya, mereka semua hidup di kota. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka tak menjenguk orang tuanya, bahkan ketika ayah mereka meninggalkan dunia. Mereka tetap tak datang juga.
Itulah sebabnya nenek tua tinggal sendiri, hanya berteman sepi. Tak tau di mana buah hatinya berada.
Satu yang pasti, bahwa ia akan tetap mengingat anak-anaknya meski mereka mungkin telah lupa. Ia akan tetap menyebut nama anak-anaknya di dalam sujud dan do’anya, hingga nanti ajal menjemputnya.

Pasar kembali sepi, petugas pasar mulai berpatroli dan adzan asyar terdengar samar di telinganya yang tuli. Ia pun bergegas, lalu segera meninggalkan pasar ini beserta rasa suka yang didapatinya karena hari ini Tuhan izinkan hampir seluruh daganganya terjual.

“Abdi heula nya,” ³ ucap nenek kepada rekan yang ada tak jauh darinya seraya melambaikan tangan.
Orang itu menoleh, “Nya, nini. Ati-ati ti leumpang nya,” ⁴ ucapnya sembari tersenyum.

Nenek itu kembali ke rumahnya menyusuri jalanan yang ditumbuhi rerumputan jalang, ditemani lalu lalang orang-orang seperti dirinya yang hari ini bebas dari rutinitas.
Jalanan berubah menjadi berbatu, ia telah sampai di tempat yang dituju. Desa kelahirannya, yang ia cinta selamanya.
Anak-anak bersorak-sorai karena kehadiran nenek tua, sebab nenek tua akan membagikan hasil jualannya yang berupa jajan untuk anak-anak yang menunggunya datang. Setidaknya hal itu bisa mengobati rindu kepada cucu-cucunya yang belum pernah dilihatnya meski satu kali saja.
Sedangkan ibu-ibu dari anak-anak yang menanti kedatangan nenek tua mengantar nenek tua hingga sampai di rumahnya.

Nenek tua melambaikan tangan, “Hatur nuhun,” teriak nenek tua sekuat yang ia bisa.

Ibu-ibu dari anak-anak desa telah hilang tertelan pekat, suara adzan mahrib terdengar dan nenek masuk ke dalam gubuk tuanya.
Esok pun akan ia jalani hari seperti hari ini di mana bahagia selalu menyertai langkahnya. Bukan karena harta, melainkan ia masih bernyawa, mengingat Tuhannya dan berbagi kepada sesama.

Selesai

¹ Nenek! Ikut saya saja!!!
² Terima kasih,
³ Saya duluan ya,
⁴ Iya, nenek. Hati-hati di jalan ya,

Penulis:

Memiliki nama asli Aris Setiyanto, lahir 12 Juni 1996. Buku puisinya, Lelaki yang Bernyanyi Ketika Pesawat Melintas(2020) dan Ketika Angin Berembus(2021). Karyanya termuat di; Koran Purworejo, Koran BMR FOX, Harian Sinar Indonesia Baru, Radar Pekalongan, Harian Bhirawa, Bangka Pos, Radar Madiun, Harian Nusa Bali, Harian Waspada dll

20 tanggapan untuk “Asa Di Ujung Senja

  1. Narasinya sudah enak dibaca, penggambaran suasananya jelas dengan diksi yang bagus. tapi sepertinya peletakan paragrafnya masih kurang rapi, ya? Paragraf satu ke lainnya masih ada yang menyatu.
    Kalo nulis blog, langsung apa ditulis lewat Ms. Word dulu, Gan?
    Btw salam kenal, yaa. Dari orang-yang-melihat-orang-lain-untuk-diambil-manfaatnya.

    Suka

  2. Iyaaa, enggak apa2..
    Semoga kedepannya bisa diedit secara sempurna yaa..
    Btw tertarik sama blog nohara karena kumpulan2 cerita..
    Ada dua pertanyaan,
    Ada rekomendasi blog yg serupa?
    Dan
    Inspirasi bikin cerita judul ini dari mana, kenapa buat cerita tentang nenek2 yg teringat anak2nya yg jauh?
    Hehe, maaf yaa nanya2 ☺

    Suka

    1. Jawabannya,

      1.lakonhidup
      Cari aja di google, itu wordpress juga sih
      Blog itu memuat cerpen yang sudah diterbitkan oleh media seperti cerpen dan majalah, jadi sudah terjamin bagusnya

      Kalau sudah baca di blog itu pasti masnya gak mau lagi mampir di sini lagi😂

      2.terinspirasi dari sebuah lagu milik Akb48 yang judulnya “Hakimono To Kasa To Monogatari” *kalau tidak salah

      Jadi lagu itu menceritakan tentang kehidupan dua orang nenek yang hidup di desa sendirian, wah, gak bisa cerita deh pokoknya. Itu lagu sedih banget😢

      Suka

      1. Iyaa, lakonhidup itu kumpulan cerpen2 yg dimuat oleh media..
        Tadi aku udah baca2, bagus2. Makasih yaa.

        Ohh, iya iyaa mantap..
        Btw, saya mau baca cerpen2 Mas yg lalu2, tapi rada sulit ngeksplornya yaa.
        Harus scroll terus..
        Wkwk.

        Suka

      2. Justru bagus..
        Kelihatan berkembangnya..
        Sempet aku ngelihat juga kok di tulisan kamu yg sebelumnya..
        Dari narasi yg seadanya, sampe sekarang narasinya sudah membangkitkan suasana.
        From just telling the story to showing the story. Nice..
        Ditunggu ksryanya..

        Suka

      3. Saya sih, sebenarnya lebih mementingkan jalan cerita dari pada penulisan. Atau bisa dibilang, saking banyaknya cerita yang ada di otak saya, saya sampai gak sempet belajar tentang penulisan.

        Cerita” tersebut saya dapat di manapun ; di jalan, di pasar, cerita teman, cerita diri sendiri bahkan dari mimpi

        Suka

      4. Iya terlihat ketika menuliskan cerpen barunya Lala sang Kupu-kupu~

        Ini bukan menggurui, ini sharing saja. Andrea Hirata membuat novel ‘Ayah’ hanya selama 10 hari, sedangkan novel ‘Sirkus Pohon’ membutuhkan waktu selama 2 tahun.

        Apa yang membuat bisa seperti itu?
        Ketika membuat ‘Sirkus Pohon’ Andrea Hirata benar-benar memikirkan paragraf, kalimat, dan kata yang dibuat.

        Banyak pepatah yang mengatakan, “Semua juga bisa memiliki ide yang brilian, tapi yang membedakan adalah bagaimana dia merealisasikannya.”
        Jadi sangat disayangkan jika kita punya ide yang melimpah, tetapi tidak bisa mengemasnya dengan baik.

        Mungkin Mas Nohara tidak apa-apa tidak ada yang baca cerpen buatannya. Tapi saya memandangnya sayang saja jika terdapat pembaca yang tidak selesai membaca cerpen buatan Mas Nohara, lantaran tidak dikemas dengan baik.

        note: saya tidak mengatakan penulisan Mas buruk, cuma mengingatkan kalau sebagai story teller perlu belajar kepenulisan juga.

        Maaf yaa, jadi banyak cincong begini, hahaha, habis susah sih nyari blogger yang spesialis sastra, apalagi cermin atau cerpen. Semoga terus berkembang, ya. (ini juga nasihat khusus untuk diri saya pribadi).

        Suka

      5. Dan saya sebenarnya sudah tahu cara belajarnya, yaitu denga membaca cerpen orang lain
        Tapi saya tidak pernah melakukan hal itu, lagipula tidak banyak yang baca cerpen saya. Tapi keberadaan orang-orang seperti anda membuat saya ingin belajar😄

        Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar