Diposkan pada Cerpen

Sang Patriot

Seorang lelaki berwajah tampan serta berperawakan tinggi besar turun dari mobil, seketika semua mata penduduk desa tertuju kepadanya.
Ia juga memakai baju hijau, membuatnya terlihat lebih tampan lagi. Semua orang menerka-nerka, siapakah gerangan prajurit ini.
Namun aku berbeda, ia berada di sekitarku saja seolah sudah membuatku mengerti bahwa itu ialah dia. Sahabatku yang telah bertahun-tahun lamanya meninggalkan aku dan juga desa ini.

Siapapun akan dibuat pangling jika melihatnya. Bagaimana tidak, sedangkan ia telah berubah 180 derajat. Ia yang dulu kurus kering dan juga pendek, kini sudah tegap berisi, gagah dan juga tinggi pastinya.
Tak terkecuali aku sendiri, orang yang dulu dianggap olehnya sebagai sahabat. Dulu, aku adalah satu-satunya teman yang ia punya. Karena semua orang enggan berteman dengan anak laki-laki yang lemah gemulai sepertinya.
Aku pun sebenarnya enggan, tapi aku kasihan pada dia dan akhirnya menjadi sahabatnya.

Dulu juga ia selalu berkata, “Suatu hari nanti aku akan menjadi prajurit, Sang Patriot.” serunya.

Aku tak pernah sekalipun mengindahkan, hanya sesekali melempar senyum palsu ketika ia membual tentang hal itu untuk meyakinkan dia saja.
Karena sama seperti orang-orang, aku pun menganggap hal itu sesuatu yang mustahil.
Dan siapa sangka bila kali ini ia pulang dan memakai baju hijau. Dan aku sungguh bahagia melihathya. Aku bahagia karena mimpinya terkabulkan. Tak terelakkan, senyuman pun terlukis di wajahku.

Seseorang mendekatinya lalu menepuk pundaknya bak seseorang yang mengenal baik dia, “Wehhh… Regi, piye kabarmu? Apik-apik wae to?” ¹ tanya orang tersebut.
“Apik, mas. Alkhamdulillah.” ² jawab Regi dengan melempar senyum manis dan kelihatannya ia tak terlalu mengenal orang tersebut.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, yang kuingat ialah beberapa orang menyalami Regi dan mengobrol seperti yang dilakukan orang pertama.
Begitu ramainya orang yang antusias ingin melihat Regi sampai aku sendiri tak bisa melihatnya dari jarak yang agak jauh ini.

“Nek iseh eling aku, nyepakko rene, Gi. Koncomu iki pancen wes kangen banget.” ³ kataku dalam hati.

Akupun kemudian melanjutkan aktifitasku bergelut dengan cangkul, tak mau ikut seperti orang-orang dan mengerumi Regi pula.
Namun ku dengar suara kerumunan itu seolah mendekatiku, karena aku mengira salah dengar, jadilah aku tak mempedulikan dan terus mencangkul.

“Io!” panggil seseorang dengan suara yang besar.
Aku menoleh, “Regi,” gumamku.

Regi berlari ke arahku dan saat itu pula memeluk tubuhku, aku bahkan sampai terkejut karenanya.
Setelah Regi memelukku, baru ku tahu betapa besar tubuhnya. Kini malah aku yang merasa kurus kering.

“Aku pulang, Io,” kata Regi.

Aku melepaskan pelukan Regi yang semakin lama mungkin akan semakin erat itu, aku terkesiap ketika melihatnya meneteskan air mata.

“Tentara kok nangis, tidak patut.” kataku.
Regi tersenyum, “Ini terharu namanya,” kata Regi sembari menepuk lenganku sampai aku terjatuh.
Sembari tertawa kecil, Regi mengulurkan tangannya, “Sorry,” ucapnya.
“Mentang-mentang sudah kuat,” kataku sembari memonyongkan bibir.

Setelah itu, beberapa saat lamamya kami tak lagi saling bercengkerama. Hanya saling tatap mata sambil tersenyum satu sama lain, masih tak percaya akhirnya bisa kembali berjumpa bahkan sampai lupa pada orang-orang yang tengah mengerumuni kami berdua.

“Ayo jalan-jalan ke Malioboro,” kata Regi akhirnya.
“Kita belanja sepuasnya.” tambahnya.

Ternyata dia masih ingat akan janji yang pernah diucapkan dulu, bahwa ia akan membawaku ke Malioboro untuk berbelanja sampai aku puas.

“Kamu gak lihat, aku lagi apa?” tanyaku sembari menunjuk ke arah cangkulku.
Regi pun melihat cangkulku, sesaat kemudian ia melihat ke arah sekitar, “Tidak terlalu luas,” kata Regi.
“Ada cangkul yang lain tidak? Biar aku bantu,” tanya Regi.
“Ada,” sahutku antusias.

Aku pun mengambil cangkul yang ada di saung dan memberikannya kepada Regi, Regi dengan semangat membantuku mencangkul yang hal itu berhasil membuatku geleng-geleng kepala lantaran heran.
Ternyata hanya penampilan dan perawakannya saja yang berubah, hatinya masih Regi yang dulu.

“Malah diam, ayo kerja biar cepet selesai!” hardik Regi.
Aku tersadar dalam lamunan, “Iya, iya,” kataku.
Aku pun mulai kembali mencangkul, “Ternyata cuma fisik dan penampilanmu saja yang berubah, hati kamu masih Regi yang dulu.” kataku sembari terus mencangkul.
“Lha, yo pancen. Aku ki tetep koncomu tekan kapan wae, sahabatmu.” ⁴ kata Regi.
Aku menoleh ke arah Regi, “Sip!” kataku sembari menujukan jempolku pertanda suka, seperti yang pernah aku lakukan dulu saat pertama menjadi teman Regi sampai ketika ia bermimpi ingin menjadi seorang prajurit dan kini.

Selesai

¹ Wehhh… Regi, gimana kabarmu? Baik-baik saja kan?
² Baik, mas. Alkhamdulillah.
³ Kalau masih ingat aku, mendelatlah kesini. Temanmu ini memang sudah kangen sekali.

⁴ Lha, ya memang. Aku ini tetap temanmu sampai kapanpun juga, sahabatmu.

Penulis:

Memiliki nama asli Aris Setiyanto, lahir 12 Juni 1996. Buku puisinya, Lelaki yang Bernyanyi Ketika Pesawat Melintas(2020) dan Ketika Angin Berembus(2021). Karyanya termuat di; Koran Purworejo, Koran BMR FOX, Harian Sinar Indonesia Baru, Radar Pekalongan, Harian Bhirawa, Bangka Pos, Radar Madiun, Harian Nusa Bali, Harian Waspada dll

12 tanggapan untuk “Sang Patriot

      1. Kalau dicari2, pasti kita selalu dapat menemukan kritik..
        Tapi sepertinya aku bukan tipe pencari celah kesalahan..

        Suka

Tinggalkan Balasan ke arisnohara Batalkan balasan