Diposkan pada Cerbung

Bhayangkara : Part 21

Wibowo terduduk di kursi kayu nan lapuk itu, ia menyaksikan Wati mengemas barang-barangnya dan pergi melewati Wibowo yang seolah tidak ada di sana tanpa pernah bisa mencegah atau setidaknya berkata-kata. Hari itu Wati pergi meninggalkan rumah karena telah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh.
Wibowo terduduk di kursi yang sama, kali ini kedua tangan dan kakinya terikat oleh sebuah tali. Ia mendongak, di depan sana Wati sedang mengisi revolver lantas mengarahkan revolver itu ke arah ayahnya karena alasan yang sama. Wibowo masih tidak bisa berbuat atau berkata apa-apa, yang ia bisa lakukan hanya menagis dan terus menangis.

Wibowo bangkit dari tidur panjangnya dan mendapati peluh membasahi tubuh, “Cuma mimpi.” gumamnya dengan nafas terengah-engah.
“Kenapa, Pak?” tanya Wati seraya menepuk pundak ayahnya.
Wibowo yang terkaget kedua kali itu sontak menoleh, “Ah, nggak. Cuma mimpi buruk.” jawabnya, seulas senyuman disunggingkan.
“Wati buatin minum, ya.” tanpa menunggu ayahnya mengiyakan, Wati sudah menuju ke dapur.

Tak butuh waktu lama untuk menyuguhkan teh panas ke hadapan ayahnya. Wati masih ingat ayahnya itu menyukai teh panas tawar yang kental.

“Kamu sudah bicara sama Bagus?” tanya Wibowo.
Air muka Wati berubah mendengar nama satu itu, ia menggeleng pelan. “Ini semua salah, Bapak.” ucap Wibowo.
Wati menoleh, “Kalau saja bapak ini orang kaya, kamu gak perlulah sampai melakukan semua ini demi menjadi polisi.” kata Wibowo lagi yang seolah menjawab pertanyaan dalam hati Wati.

Wati menunduk, ingin rasanya ia berkata kepada ayahnya untuk mengganti topik pembicaraan yang hanya membahas seorang saja sedari tadi.

Kertas itu terlipat rapi di dalam kaleng biskuit bersama beberapa gepok uang, Wibowo membuka lipatan kertas itu dan mendapati sebuah nomor telepon di sana. Wibowo memasukkan angka satu persatu lantas memencet tombol ‘call’ sekalipun ia tak yakin apakah orang yang memakai nomor tersebut masih menggunakannya.

Di tempat lain…

“Apa! Kamu yakin! Lagi-lagi kamu yang jadi umpan.” kata Hakim setengah berteriak.
“Semoga kamu gak tergoda sama orang itu.” kata Hakim lagi.
“Aku sih yakin dia gak bakal tergoda, malah aku memikirkan yang lainnya.” Aksa berkomentar.
Bagus mengangguk, “Di antara kita bertiga yang gak takut mati cuma saya, kan?” tanyanya.
Hakim dan Aksa saling berpandangan, “Maka dari itu.” kata Bagus.
“Kalian masih ingat pesan saya kalau ada sesuatu yang terjadi pada saya kan?” tanya Bagus.
Aksa dan Hakim kompak mengangguk, “Bagus. Saya akan beraksi.” kata Bagus lagi.

Bagus berbalik lantas berjalan di jalan yang saat itu tengah lengang, ia berjalan lagi menuju taman. Pakaian yang dikenakannya serba putih, itulah salah satu kostum wajib malam ini untuk menangkap penjahat.

Sementara itu…

“Apa!!!” teriak Wibowo.
“Jadi aku harus menghabisinya juga?” tanyanya.

Wibowo mengangguk, sesaat ia pun menggeleng. Ia lantas berjalan kesana-kemari saking resahnya dan semua perpaduan itu berakhir dengan ketidakberdayaan dan keterpaksaan sama seperti belasan tahun yang lalu.

Bagus berdiri begitu wanita cantik itu mengajaknya pergi, ia kemudian masuk ke dalam sebuah mobil berwarna merah muda.

“Aku harap kamu bukanlah seorang polisi.” kata wanita itu.
Bagus menelan ludah, “Memangnya kenapa kalau saya ini seorang polisi?” tanya Bagus.
Wanita itu menyeringai, “Banyak polisi yang awalnya berniat menangkapku, tapi begitu aku perlihatkan tubuh indahku mereka malah tetiba punya niat yang lain.” jawab wanita itu penuh penekanan.
“Wanita ini bukan orang sembarangan.” kata Bagus dalam hati.
“Polisi adalah profesi dan hal yang paling saya benci di dunia ini, jadi saya tak mungkin seorang polisi. Saya hanya datang untuk kamu, sesederhana itu.” kata Bagus.

Wanita itu tersenyum, ia kemudian kembali fokus menyetir dan melajukan lagi mobil mewahnya itu.

Wibowo meraih sebuah pisau di laci, itulah pisau yang pernah ia gunakan untuk menghabisi nyawa Andre. Wibowo menatap lekat pisau itu dan banyak pertanyaan yang muncuk di dalam hatinya seperti; Apakah ia akan tega membunuh kekasih anaknya? Apakah ia akan berakhir saat itu? Dan apakah kali ini ia benar-benar harus melakukan dosa tanpa tujuan?

Penulis:

Memiliki nama asli Aris Setiyanto, lahir 12 Juni 1996. Buku puisinya, Lelaki yang Bernyanyi Ketika Pesawat Melintas(2020) dan Ketika Angin Berembus(2021). Karyanya termuat di; Koran Purworejo, Koran BMR FOX, Harian Sinar Indonesia Baru, Radar Pekalongan, Harian Bhirawa, Bangka Pos, Radar Madiun, Harian Nusa Bali, Harian Waspada dll

2 tanggapan untuk “Bhayangkara : Part 21

  1. Kalau sudah sebanyak ini, nih bukan lagi demi idola. Semoga makin banyak menulis makin terasah. Lain halnya dengan kami, makin sering bergulat dengan menerjemahkan, makin bingung apa yang harus ditulis. Salam.

    Suka

Tinggalkan komentar