"Dedikasi yang kita lakukan dengan sepenuh jiwa, akan menjadi karya yang bisa diterima orang lain". -Andre Ferdiansyah Damanik-
matamu laguna, membawaku pada kedalaman matamu langit, menerbang-jauhkan hidupku hari itu hujan jatuh dari sepasang matamu aku tak pernah paham arti merawat luka sampai kehilangan, cahaya di sepasang matamu pudar yang tersisa dari perawanan hanya kekosongan yang terbaca seperti kematian kasih, kau telah kehilangan tubuhmu aku telah kehilangan arti dalam hidupku tak berperahu, ombak akan bing, mengombang-ambingkan hatiku hingga pada satu titik, kisah itu berakhir.
Nak, di dalam hati kita sejak kecemasan begitu kerasan tubuhmu akan tergantung akulah pemeran utamanya kakakmu akan menjadi yang kedua dan aku, aku akan mengosongkan hati hilang detak yang selama ini tiada harga diri bahkan dalam pulang Nak, Tuhan tidak bersalah, meski di ketika itu aku tak mengingat-Nya terlebih engkau sekalian kelahiranmu tetap puisi terindah meski kini nyala telah membakarnya nyala itu pulalah yang kemudian membakarku menyapulenyapkan kepedihan selama hayat serupa raung kelaparan
di jalan itulah tubuhmu aku temukan di sana, wajahmu menyigi hatiku bermisai madukara, melumat tubuhku berapa banyak pun lembu kau titipkan pada perigi tempatkan aku pada bukit-bukit yang hana di bawah mata angin saat berbaring di sana, tubuh akan udara tak kutemukan lagi detak nafasmu kau telah meninggalkan ragamu maut telah meminangnya.
langit kesumba jalan menuju rumah-Mu tak lagi berbatu mengapa tubuhku terpenjara begitu banyak hal untuk diratapi, untuk kemudian disesali saat kepala mengingat maut ia akan datang akan nyalang, akan menyala jika masanya
lantas, untuk apakah ia hidup? untuk apa hidup jika batinnya mati? kemudian, mengapa Kau terbangkan datuk? saat kakinya masih menjejak, di sini; di hati akan kucari semesta
Sebenarnya sudah ragu mau berangkat atau tidak. Selain karena sudah bolos kerja tiga hari dan konon akan dipecat jika sampai pada yang keempat kalinya, teman ngelive saya, Firman Ardiyanto, juga mengkonfirmasi ketidakhadirannya di tour Jogja kali ini. Dia sedang menjalani semacam pelatihan menjadi guru, jadi saya paham bagaimana sibuk dan merepotkannya. Padahal selama ini kami selalu nonton konser atau mini konser semacam ini bersama-sama, kini rasanya begitu hampa jika sendiri. Untung hari itu adik saya mau menemani saya walaupun dia seorang Kpoper dan bukannya Jpoper atau fans dari JKT48.
Saking tidak pernahnya ke mall, saya bahkan sampai lupa bagaimana mengambil nomor antrian untuk parkir. Hal ini menjadi bahan tertawaan untuk adik saya. Kemudian saat kami harus naik eskalator, giliran saya yang menertawainya karena ini adalah kali pertama baginya dan begitu ketakutan. Saya sampai harus memeganginya agar tidak jatuh. Hal ini juga menarik perhatian pengunjung mall. Barangkali mereka membatin, ‘Ih, norak.’ dan ‘Ih, kampungan.’ tapi saya gak peduli sama sekali. Apalagi saat melihat seorang wotagei bermain lightstick di salah satu restoran di Sleman City Hall tersebut.
Ndesonya kami terus berlanjut. Saat orang-orang naik lift untuk sampai ke lantai tiga, kami malah naik tangga yang jumlahnya bejibun. Akibatnya jadi ngos-ngosan. Sudah sampai di lantai tiga ternyata acaranya dilangsungkan di lantai satu. Jadi untuk apa kami repot-repot naik ke lantai tiga. Di situ saya merasa pintar sekali. Wkwk.
Padahal baru jam tiga sore, tapi sudah banyak orang yang gangsang di depan panggung.
Acaranya sendiri memang dimulai dari bada duhur, tapi performnya sendiri baru dimulai jam setengah sepuluh malam. Waktu itu teman saya juga bilang kalau dia sudah gangsang dari jam delapan pagi. Padahal jika bergerak sedikit saja dari tempat gangsangan, tempat itu akan segera diisi oleh fans lain. Dulu saya juga begitu bersama Firman, tapi kemudian saya pikir inilah yang dikatakan orang bahwa ‘Idol Itu Pembodohan’. Saya sampai gak solat demi mempertahankan gangsangan, bodoh sekali. Wkwk.
Untuk mempercepat waktu, saya dan adik saya duduk di depan mall (melihat indahnya matahari terbenam di Jogja). Masuk lagi ke mall, dan lantai satu di depan panggung saat itu nyaris penuh. Kami duduk di depan panggung lain untuk audisi dangdut karena baru jam tujuh malam. Saat itu saya lihat ada Gramedia dan mengajak adik saya naik ke lantai dua, tapi dia benar-benar kapok naik eskalator dan menunggu di bawah. Padahal jika ia ikut, saya mungkin akan menemukan buku yang saya cari selama ini. Setelah dari Gramedia, saya ke panggung utama lagi. Member masih sibuk stage activity dan 2shoot(semacam foto bersama) dengan fans. Setalah itu diumumkan bahwa perform akan segera dilaksanakan. Kami menunggu di sana, dan tidak bisa bergerak sedikitpun. Mall penuh, bahkan pengunjung asli mall ini akan mikir dua kali untuk melintas di sekitaran panggung. Saya juga sempat menawari adik saya untuk keluar, kita bisa melihat dari mana saja. Saya lebih takut adik saya pingsan dari pada tidak nonton konser itu. Lagipula oshi saya juga tidak ada di sana. Tapi adik saya tidak mau. Dia bersikeras untuk tetap di sana. Bahkan dia yang repot-repot ngerekamin video buat saya. Saya sendiri yang fans aja gak nyentuh hape sama sekali selama JKT48 perform. Mending teriak-teriak, melampiaskan lelah hati selama bekerja.
Kesan yang sudah bisa saya tebak. Presentase kepuasan saya hanya 40 persen, tapi ya lumayan dari pada tidak. Fans bukannya fokus dengan lightstick mereka dan ngechant, malah sibuk merekam dan memotret. Pemandangan yang lumrah dalam ngidol JKT48 era ini. Kalau dulu member sedih, kali ini mereka pasrah. Mungkin mereka masih sedih, tapi tidak punya pilihan lain.
Keluar dari mall pasca konser begitu menakutkan. Semua motor ingin keluar saat itu sedangkan petugas yang standby di parkiran cuma dua orang. Setalah antri begitu lama, kami mampir di warung Lamongan untuk makan malam. Pulang ke kota kelahiran dengan mengantuk. Apalagi adik saya berkali-kali membentur helm saya tapi ketika ditanya selalu jawab, ‘aku gak ngantuk kok’. Ngeri.
Kamu akan dibuat menjadi begitu kesal. Sempat kepikiran bahwa itu adalah serangkai kejutan ulang tahun. Tapi kemudian tidak ada siapapun di sana, yang berarti kamu hanya memiliki nasib sial setiap kali berulang tahun. Kamu sendirian. Hari ini pun kamu bahkan marah kepada ibumu, kamu nyaris menjatuhkan temannya yang tidak tahu apa-apa, tidak salah apa-apa.
Kamu mengunjungi dunia maya. Dulu kamu adalah orang pertama yang mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” kepada siapapun yang sedang berulang tahun hari itu, bahkan kepada orang-orang yang tidak kamu suka atau yang tak kamu kenal sama sekali. Kamu tidak mengharap hadiah, tidak mengharap nyanyian sebanyak yang kamu lakukan, tapi jika keluargamu atau teman dekatmu saja lahir, kamu sudah sangat bersyukur.
Usiamu baru dua puluh enam, tapi kamu berharap kamu enam puluh dua. Sekalipun maut ada di pundak kamu bahkan setelah kamu lahir. Dan ia siap mengetuk punggungmu kapanpun. Kamu tidak melakukan apa-apa selain bersedih. Tubuh kamu mungkin kesana-kemari, kamu bahkan bekerja. Tapi hati dan pikiran kamu terkungkung di lautan penyesalan. Mengutuk nasib. Melagukan perandai-andaian yang percuma. Dan dengan lancangnya menyalahkan Tuhan yang masih memberimu hidup sampai hari ini.
Memang sengaja duduk di ruang tunggu di pos satpam agar tahu ada berapa banyak karyawan baru, meski akhirnya diusir juga karena saya notabenenya adalah karyawan lama. Saya melihat empat orang, tiga laki-laki dan satu perempuan. Menurut satpam, seharusnya ada tujuh. Entah kenapa yang tiga ini tidak berangkat. Mungkin jadi ragu karena shift malam.
Saat mengambil kardus yang bersisi tentang buku catatan, saya juga sempat mengintip sekilas saat proses wawancara. Inilah saat-saat yang paling mendebarkan dalam hidup. “Sebelum ini kerja di mana? Kenapa kok memilih resign? Kenapa mau bekerja di sini?” dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya.
Meski ada tambahan dua orang baru, tim saya tentu tidak ditambahkan. Saya bahkan yakin tim saya akan mendapat tambahan saat tim lainnya telah lengkap. Di tim lain pun yang saya kira akan dibagi menjadi beberapa tim lagi, ternyata tidak. Mereka semua disatukan sehingga terlihat begitu banyak pekerja. Bahkan saya pun sempat menjadi bagian dari mereka dan berjanji akan resign jika tetap berada di sana. Tentu bukan karena masalah sepele itu, (masalah sepele?) melainkan banyak hal lain yang mungkin akan saya ceritakan esok.
Padahal dari jam satu pagi sudah nongkrong di pos ronda, main game online sampai subuh. Tapi baru pas sholat di masjid kepikiran buat jalan-jalan lihat sunrise setelah sekian lama. Entahlah, sejak menyukai mendaki gunung, saya jadi tidak suka pergi berwisata. Tempat-tempat wisata itu jadi seperti biasa saja. Gunung adalah yang terbaik.
Bob juga ketika ditawari antara mau atau tidak, karana dia belum tidur sama sekali semalam. Ketika saya ganti pakaian, Bob datang, “Jadi berangkat?” tanyanya. “Tentu saja.” kata saya. Bob pulang dan ganti pakaian. Kami berangkat sekitar jam 5 lebih ΒΌ tapi masih begitu gelap.
Tidak terpikirkan sebelumnya bahwa Bob akan ketiduran selama perjalanan. Awalnya saya mengira helmnya membentur helm saya karena polisi tidur. Tapi, bahkan sampai di jalan raya pun Bob masih melakukan hal yang sama. Akhirnya saya menoleh dan menemukan Bob terlelap. Saya membentak dia agar bangun. Saya yang berniat melajukan kendaraan pun urung dan memilih untuk melambat.
Mampir ke minimarket membeli minuman dingin agar mata Bob terbuka. Di situlah keraguan menyelimuti hati saya. Antara tujuan ke Sigandul View (yang sedang hits) atau ke Embung Bansari, akhirnya saya memilih Embung Bansari karena belum pernah.
Sama halnya jalan di tiap pegunungan, kontur naik turun. Saya harus beberapa kali buka Maps karena jarang menemukan warga. Antara mereka memang belum beraktivitas atau telah lebih dahulu pergi ke ladang/sawah.
Setelah sampai di gerbang desa “Banaran” intusisi saya mengatakan bahwa saya harus berjalan lurus memasuki gerbang desa sementara Maps sudah tidak dapat lagi dipercaya. Kebetulan ada penjual gorengan, beliau menyuruh saya untuk naik lurus gerbang desa di dekat tempat jualannya yang ternyata merupakan tempat untuk pengunjung embung turun/keluar. Jalannya hanya muat untuk satu mobil. Beruntung saat itu tidak ada wisatawan yang turun.
Setelah melewati jalan pedesaan, saya harus melewati jalan berbatu yang mengerikan dengan sesekali jurang di sisi kanan jalannya. Dan setelah melewati rintangan itu, akhirnya sampai. Membayar biaya tiket masuk seharga Rp.15.000,00 untuk dua orang termasuk biaya parkir. Saya dan Bob menuju ke bendungan dan menikmati matahari terbit. Kota di bawah kaki kami. Lautan awan sudah seperti pemandangan saat mendaki gunung. Waktu itu baru jam tujuh, tapi matahari panasnya seperti sudah jam 12 siang. Mungkin karena di ketinggian. Setelah menghilangkan dingin karena perjalanan, kami pun turun. Tak lupa ambil foto sekedar untuk kenang-kenangan.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.