Bulan ini adalah bulan penghabisan. Mungkin karena mikir kalau THR itu bukan hasil dari kerja keras, jadi bisa seenaknya mengeluarkan uang. Padahal kita harus membayar mahal untuk itu. Mungkin di luar sana ada orang-orang seperti saya, yang selama puasa dilarang libur karena buruknya manajemen dalam mengatur stok barang, sehingga harus terus masuk kerja bahkan produksinya menjadi dua kali lipat saat puasa. Padahal, ada tradisi sebelum puasa yang sayang untuk dilewatkan.

1. Megeng (me-geng)

   Orang-orang pergi ke warung makan untuk makan makanan enak menurut mereka masing-masing. Saya sendiri sudah terbiasa dengan bakso atau mie ayam pada waktu ini. Niatnya baik, tradisi ini menyimbolkan bahwa kita akan kuat puasa sampai penuh karena sudah memakan makanan yang kita sukai—yang kita anggap terenak.

2. Padusan (pa-du-san)

   Adalah kegiatan mengunjungi kolam renang. Hampir sama seperti megeng, hal ini dimaksudkan agar kita kuat menjalani puasa, juga sebagai pembersihan.

Menjadi dewasa benar-benar membuat kita harus rela melepaskan tradisi-tradisi itu.

***

THR saya lumayan, meski begitu saya tidak beli baju lebaran. Entahlah, rasanya tidak seantusias dulu. Saya justru beli jaket untuk hiking.

Hari ini bersama Jito, sahabat saya, belanja di toko pakaian bekas yang juga menjual jaket musim dingin. Sudah lama kami ingin melakukan hal ini, namun karena waktu yang tidak pas kami baru bisa melakukannya sekarang.

Sementara saya jatuh cinta pada flanel timbul yang ada di antara barisan kemeja seharga 80-90 ribu, Jito terlihat kesulitan memilih. Dia juga menolak jaket puffer yang saya rekomendasikan. Dia berkata bahwa dia lebih menyukai bahan parasut yang tipis ketimbang jaket musim dingin itu.

Saya sempat ngobrol dengan bapak pemilik toko. Ternyata beliau orang Palembang, jauh sekali merantaunya sampai ke Jawa Tengah. Beliau juga cerita bahwa beliau tidur di toko.

Setelah memutuskan beberapa pilihan, Jito mencobanya di ruang ganti. Dia membawa dua jaket yang menurutnya paling bagus dan dia mendapati jaket yang satu kekecilan sehingga dengan mudahnya dia langsung memilih yang satunya lagi. Saat hendak membayar, saya menyuruh Jito untuk membayarkan flanel milik saya pula. Saya kepingin dia menawar untuk flanel saya sama halnya untuk jaketnya. Lumayan, kami jadi hemat 15 ribu. Sebelum pulang, kami juga sempat nongkrong di taman di dekat kali.

Semoga musim hujan segera berakhir, sehingga saya dan Jito bisa kembali mendaki gunung.

Thrifting Pertama

Jaket baru itu norak dan basah😂

Mereka (dua orang teman) ini menolak gunung Telomoyo karena mereka sudah sering mengunjungi gunung ini, tentu bukan via basecamp Arsal yang harus ditempuh dengan hiking, melainkan via basecamp yang sudah membangun jalannya sampai ke puncak sehingga tidak diperlukan usaha keras untuk menikmati pemandangan.

Anam juga menolak Telomoyo. Saya paham bahwa gunung ini terlalu remeh baginya yang memang sudah profesional. Dia bahkan menyarankan agar kami mendaki gunung Ungaran saja yang lebih tinggi. Saya tidak tinggal diam, saya agak memaksa dia dan dia pun akhirnya mau.

Dari Temanggung saya berangkat ke rumah Anam sekitar jam 22.00. Berpikir bahwa di jam itu jalanan sudah sepi, tapi saya salah besar. Bahkan arus balik ini lebih menguasai jalan alternatif ketimbang jalan utama.

Dari rumah Anam, kami berangkat jam 00.10, berjalannya dengan pelan-pelan sambil mencari pom bensin yang masih buka dan hasilnya nihil. Akhirnya kami membeli bahan bakar di dekat pasar—di dekat basecamp.

Kami sampai di basecamp tak lama setelah itu. Kami terkejut bahwa basecamp itu berkonsep outdoor, apalagi saat itu kabut turun, gerimis dan sesekali ada angin kencang, membuat kami kedinginan dan sering buang air. Setelah registrasi, kami memutuskan untuk tidur sampai jam 03.00. Anam tertidur lelap, sementara saya berkali-kali terjaga karena merasa seperti ada yang menyelimuti.

Ini dia basecamp outdoornya

Kami mulai perjalanan pukul 03.00 dan saat itu masih gerimis. Kami tracking memakai jas hujan. Baru juga sampai di rumah warga yang terakhir, hujan malah makin lebat. Kami berteduh dan tak lama setelah itu hujan reda. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Dari saat melewati perkebunan warga sampai di gerbang gunung, hujan kembali lebat. Kami mencari (mengharap) ada gazebo/gubuk, tapi tidak ada satupun tempat berteduh. Kami akhirnya memutuskan untuk turun, mencari gubuk—tempat petani istirahat. Saya pun sudah pasrah jika pendakian kali ini akan dibatalkan. Disaat berteduh itulah kami melihat sepasang pendaki lewat. Sepertinya hal itulah yang memicu teman saya, Anam, untuk meneruskan perjalanan dengan atau tanpa view yang bagus. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk sampai ke puncak,” katanya. Keren.

Karena sudah lama tidak mendaki gunung maupun berolahraga, kami pun banyak ngos-ngosan sehingga lama mencapai dari pos satu ke pos yang lain. Bahkan kami sampai di puncak pun saat sudah cerah (tapi berkabut).

Tidak banyak yang kami lakukan di puncak. Kami hanya sesekali mengambil foto dan memasak mie instan. Saat itulah saya sadar bahwa Anam sudah dewasa.

Gunung yang ditolak beberapa orang ini ternyata memiliki keindahannya tersendiri. Bahkan saat kabut, saya tetap menganggap gunung ini indah. Unreal, apalagi di camp area dan puncaknya.

Kabut tapi indah, kan?

-Gunung Telomoyo via basecamp Arsal-

Alamat : Dusun Salaran, desa Tolokan, kecamatan Getas, kabupaten Semarang.
Htm : 15.000/orang
Parkir Motor : 5.000
Akun Instagram : @telomoyopeak
Maps : Telomoyo via Arsal

Gunung Telomoyo via Arsal

sumber : Freepic

Selamat hari raya idul fitri. Setelah dikejar deadline puasa kemarin, akhirnya saya kembali menjadi seorang pengangguran, alias telah memasuki waktu libur panjang.

Saya tidak tahu apakah memang hari raya tahun ini sesepi hati saya atau memang saya saja yang tidak melihat keramaian itu dengan tidak keluar, yang pasti semua ini hanya sementara. Tidak baik pula merayakannya secara berlebihan.

Rencana saya untuk kabur dan tidak berkunjung ke rumah-rumah warga gagal. Anak kecil di dalam diri saya enggan jika hidupnya tahun ini hancur sepenuhnya. Dia juga ingin makan permen, jelly bahkan merokok (seperti orang dewasa) di rumah orang lain, seperti dahulu. Ya, setidaknya ada hari di mana dia bisa melupakan semua masalah hidupnya.

Canggung sekali rasanya harus minta maaf kepada orang tua. Bahkan di hari seperti ini pikiran-pikiran gila itu masih ada. “Kenapa saya minta maaf kepada orang tua? Kenapa bukan mereka minta maaf kepada saya? Memangnya mereka sudah benar membesarkan saya? Bagaimana dengan fasilitas-fasilitasnya yang seringnya kurang, tidak dapat mereka penuhi?” Dalam pandangan mereka dan banyak orang tentu mereka sudah berusaha keras. Lain lagi dengan anak itu sendiri, sebanyak apapun orang mengutuknya.

Terakhir, saya sungguh-sungguh hebat. Puasa sambil kerja. Kerjanya bermain api lagi. Orang-orang yang lebih dewasa ketimbang saya saja tidak kuat dan tidak puasa. Saya kuat menjalani seluruh harinya. Ini hanya pengingat, bukan memuji. Agar jika nanti dihadapkan sesuatu yang lebih besar lagi saya pun bisa menjalaninya.

Saya Kembali

 

sumber gambar: Mojok.co

  Kita tidak harus menjadi senior yang baik, apalagi jika dihadapkan dengan orang-orang kolot.
   Junior yang satu menganggap dirinya adalah langit, jadi terlalu risi untuk berada di bumi barang sebentar saja. Akibatnya, ia bebas terbang di atas sana. Dia tidak melihat keringat kita, atau bagaimana kita datang lebih pagi darinya dan tidak memiliki pengganti dan sendiri, tapi tetap harus membantunya dan pulang jam lima.
   Junior yang lain, sama bobroknya. 45 menit banding 3 jam, tentu sangat jauh dari kata sebanding. Wajar jika semasa training dulu junior yang ini cuma bertahan satu mingguan. Itu juga kitalah yang telah menyelesaikan banyak pekerjaan seperti akhir-akhir ini. Pekerjaan bertambah banyak tapi gaji tidak naik sedikit pun. Dalam hal ini, atasan pasti menutup mata.

   Coba saja ada pekerjaan lain, kita pasti sudah angkat kaki dari tempat ini. Sering kali kita mengerjakan segala sesuatunya sendiri agar mereka berdua melihat dan mencontoh kita. Tapi mereka justru banyak istirahat dan merokok. Tidak ada yang menegur mereka, seperti tidak ada yang dirugikan karenanya.

Kita Tidak Harus Menjadi Senior yang Baik

   Sudah minta cuti dua hari dari kerjaan, eh, ternyata sekolah ditunda Sabtu depan sekaligus menyerahkan sebuah projek bebas.

   Pagi itu, kami berangkat jam delapan lebih. Karena jarak tempuh yang pendek, kami sampai di rawa jam 09:35. Sekarang Rawa Gembongan sudah ada loketnya, dari yang semula hanya diwajibkan membayar biaya parkir senilai Rp.2.000, kini juga harus membayar tiket masuk Rp.3.000/orang. Kami tidak kesulitan duduk di spot favorit. Karena masih pagi, tentu saja masih sepi. Adik saya, Asti, segera memesan gorengan dan es kopi. Katanya, dia belum sarapan. Jadi waktu itu kami pesan Rp.10.000 dan dapat sepuluh biji bonus sambal dan tikar. Baru setelah membayar, kami tahu bahwa tikar itu tidak gratis walau si pemilik warung bilang bahwa itu gratis. Kenapa juga harus gitu ya? Bilang dari awal saja tidak masalah kok, bagi saya.

   Awalnya, saya berniat ke rawa untuk membaca buku. Tapi, warung-warung yang berjejer di pojokan rawa itu memutar musik dangdut dan sangat mengganggu. Belum lagi percakapan di antara mereka yang sangat keras—seperti saling membentak, benar-benar sangat mengganggu dan saya berhenti di halaman 17. Saya tutup buku dan memutuskan untuk makan gorengan karena Asti bilang sudah tidak kuat. Hal yang berikutnya terjadi diluar dugaan. Tiba-tiba ada rombongan anak-anak sekolah dasar dan TK berlarian menuju rawa. Kami pun sontak tertawa. Kami kesini mencari ketenangan, ternyata hari itu bukanlah hari yang tepat sama sekali.

   Anak-anak itu mulai naik perahu bebek, perahu yang dikayuh dan bisa dinaiki oleh 2-3 orang. Kemudian ada beberapa juga yang naik perahu bermotor. Dan tentu saja mereka teriak-teriak karena kegirangan. Ada yang perahunya menyangkut di pulau, ada yang bertabrakan. Ada yang tidak bisa mengemudikan perahu sehingga perahunya berjalan mundur, ada yang terus diteriaki temannya karena telah tiba waktu gantian. Pokoknya sangat jauh dari ketenangan. Tapi kami juga bahagia dengan tingkah bocah-bocah itu. Saya tidak tahu berapa tarif naik perahu bebek dan perahu bermotor. Terakhir, tarif naik perahu bebek adalah Rp.10.000/berapa menit *kurang tahu, dan Rp.50.000 untuk perahu kayu bermotor yang bisa dinaiki 5 orang.

    Saat musim panas, tempat ini sangat favorit untuk melihat matahari terbenam.

Lokasi : Teguwanoh, Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah.

Rawa Gembongan

 

Sumber gambar : LovePic

  Di samping tempat kerja, ada warung baru. Warung ini dijaga oleh seorang kakek. Entah karena keinginan si kakek sendiri atau karena anaknya tidak kepingin orang tuanya menghabiskan waktu tua dengan gabut, yang pasti hal ini membuat saya kagum dan bersyukur sekaligus bersemangat dalam bekerja.


   Lucunya, kakek penjaga warung ini kerap kelupaan. Misal saya belanja dengan uang sepuluh ribu rupiah dan saya menghabiskan total tujuh ribu rupiah, maka kakek pasti akan mengembalikan uang sebesar tujuh ribu rupiah alih-alih tiga ribu rupiah. Saat melihat saya terdiam sesaat karena terkejut, kakek pun akan sadar dan tertawa sendiri.


   Oh, iya. Dulunya, warung ini—yang juga rumah, ditinggali oleh seorang nenek yang sering membagikan nasi goreng magelangan¹ saat pagi atau sore kepada para tetangganya termasuk bos saya. Saking banyaknya yang diberikan nenek, saya yang cuma pekerja di sana sampai dapat bagian. Nasi gorengnya enak. Saya pun penasaran di mana nenek saat ini dan hanya bisa menebak dengan realistis. Pun, apa hubungan kakek dengan nenek. Karena saat nenek masih tinggal di sana, kakek tidak pernah muncul. Hanya anak perempuannya saja yang sering terlihat membawakan termos untuk ibunya.


   Lain waktu, saya akan tanya pada kakek walau saya menebak bahwa kakek adalah adik nenek atau hanya seorang penyewa di sana.

¹ Sejenis nasi goreng, tapi dimasak dengan mie. Jadi seperti makan nasi dan mie goreng pada saat bersamaan

Warung Kakek

seorang ayah yang baik

pasti meninggalkan balapan

demi mengurus anaknya

yang sukar buang air besar

seorang ayah yang baik

mencemaskan kesehatan putrinya

daripada muntahan di dasbor mobil

yang mungkin mengenai bajunya pula

siang ini hujan

dan ayah yang baik, tidak melupakan jemputan

di depan rumah Tuhan,

anak-anaknya menanti kedinginan.

Temanggung, 27 November 2023

Puisi : Ayah yang Baik

ada narkoba di dalam cangkir tehku

dan Diah ingin aku tetap meminumnya

bapak itu kelaparan

meski demikian,

tidak ada yang menawarkan makan

ia mencuri air putih dari teko merah

yang aku tinggalkan di atas daun

di saat-saat seperti itu,

ia pasti ingin kembali menjadi diriku.

Temanggung, 26 November 2023

Puisi : Menjadi Diriku

ibumu, dua puluh tujuh tahun lalu

menyesal telah melahirkanmu

itu adalah nerakamu

jika ia membandingkanmu

dengan anak-anak yang disekolahkan,

kau benar-benar ada di neraka

kau belum juga bicara padanya

berhari-hari lamanya

kau pasti akan ada di neraka.

Temanggung, 24 November 2023

Puisi : Neraka

dua hari sudah tidak keluar kamar

dan mereka pikir aku baik-baik saja

dengan keinginan bunuh diri

yang makin menggumpal ini

mati tidak mengakhiri

tapi mati berarti hilang

toh, aku takkan dikenang

keinginan menikahku, anak laki-laki dalam kepalaku,

istri yang tabah dan rumah kecil kami

di pinggir sawah,

akan meruah

bersama darah

dari luka di pergelangan tanganku.

Temanggung, 23 November 2023

Puisi : Mati